FENOMENA PEMBANGUNAN DESA

Berbicara tentang  pembangunan desa, selama ini sebagian diantara kita 
terlalu terpaku pada pembangunan berskala besar (atau proyek pembangunan) di 
wilayah pedesaan. Padahal pembangunan desa yang sesungguhnya tidaklah terbatas 
pada pembangunan berskala  “proyek” saja, akan tetapi pembangunan dalam lingkup 
atau cakupan yang lebih luas. Pembangunan yang berlangsung di desa dapat saja 
berupa berbagai proses pembangunan yang dilakukan di wilayah desa dengan 
menggunakan sebagian atau seluruh sumber daya (biaya, material, sumber daya 
manusia) bersumber dari pemerintah (pusat atau daerah), selain itu dapat pula berupa 
sebagian atau seluruh sumber daya pembangunan bersumber dari desa. Apa 
sesungguhnya pembangunan desa ?
Sesungguhnya, ada atau tidak ada bantuan pemerintah terhadap desa, denyut 
nadi kehidupan dan proses pembangunan di desa tetap berjalan. Masyarakat desa 
memiliki kemandirian yang cukup tinggi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, 
mengembangkan potensi diri dan keluarganya, serta membangun sarana dan 
prasarana di desa. Namun demikian, tanpa perhatian dan bantuan serta stimulan dari 
pihak-pihak luar desa dan pemerintah proses pembangunan di desa berjalan dalam 
kecepatan yang relatif rendah. Kondisi ini yang menyebabkan pembangunan di desa 
terkesan lamban dan cenderung terbelakang. 
Jika melihat fenomena pembangunan masyarakat desa pada masa lalu, 
terutama di era orde baru, pembangunan desa merupakan cara dan pendekatan 
pembangunan yang diprogramkan negara secara sentralistik. Dimana pembangunan 
desa dilakukan oleh pemerintah baik dengan kemampuan sendiri (dalam negeri) 
maupun dengan dukungan negara-negara maju dan organisasi-organisasi 
internasional. Pembangunan desa pada era orde baru dikenal dengan sebutan 
Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), dan Pembangunan Desa (Bangdes). 
Kemudian di era reformasi peristilahan terkait pembangunan desa lebih menonjol 
“Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD)”. Dibalik semua itu, persoalan peristilahan 
tidaklah penting, yang terpenting adalah substansinya terkait pembangunan desa. 
Pada masa orde baru secara substansial pembangunan desa cenderung 
dilakukan secara seragam (penyeragaman) oleh pemerintah pusat. Program 
pembangunan desa lebih bersifat  top-down. Pada era reformasi secara substansial 
pembangunan desa lebih cenderung diserahkan kepada desa itu sendiri. Sedangkan 
pemerintah dan pemerintah daerah cenderung mengambil posisi dan peran sebagai 
fasilitator, memberi bantuan dana, pembinaan dan  pengawasan. Program 
pembangunan desa lebih bersifat bottom-up atau kombinasi buttom-up dan top-down.


Top-down Planning. Perencanaan pembangunan yang lebih merupakan 
inisiatif pemerintah (pusat atau daerah). Pelaksanaannya dapat dilakukan oleh 
pemerintah atau dapat melibatkan masyarakat desa di dalamnya. Namun demikian, 
orientasi pembangunan tersebut tetap untuk masyarakat desa.
Bottom-up Planning. Perencanaan pembangunan dengan menggali potensi riil 
keinginan atau kebutuhan masyarakat desa. Dimana masyarakat desa diberi 
kesempatan dan keleluasan untuk membuat perencanaan pembangunan atau 
merencanakan sendiri apa yang mereka butuhkan. Masyarakat desa dianggap lebih 
tahu apa yang mereka butuhkan. Pemerintah memfasilitasi dan mendorong agar 
masyarakat desa dapat memberikan partisipasi aktifnya dalam pembangunan desa.
Kombinasi Bottom-up  dan Top-dowm Planning. Pemerintah (pusat atau 
daerah) bersama-sama dengan masyarakat desa membuat perencanaan 
pembangunan desa. Ini dilakukan karena masyarakat masih memiliki berbagai 
keterbatasan dalam menyusun suatu perencanaan dan melaksanakan pembangunan 
yang baik dan komprehensif. Pelaksanaan pembangunan dengan melibatkan dan 
menuntut peran serta aktif masyarakat desa dan pemerintah. 
Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa yang harus diperhatikan 
adalah harus bertolak dari kondisi  existing desa tersebut. Esensi dari pembangunan 
desa adalah “bagaimana desa dapat membangun/ memanfaatkan/ mengeksploitasi 
dengan tepat (optimal, efektif dan efisien) segala potensi dan sumber daya yang 
dimiliki desa untuk memberikan rasa aman, nyaman, tertib serta dapat meningkatkan 
kesejahteraan masyarakat desa.
Pembangunan desa berkaitan erat dengan permasalahan sosial, ekonomi, 
politik, ketertiban, pertahanan dan keamanan dalam negeri. Dimana  masyarakat 
dinilai masih perlu diberdayakan dalam berbagai aspek kehidupan dan pembangunan. 
Oleh karena itu, perlu perhatian dan bantuan negara (dalam hal ini pemerintah) dan 
masyarakat umumnya untuk menstimulans percepatan pembangunan desa di 
berbagai  aspek kehidupan masyarakat. Bantuan masyarakat dapat berasal dari 
masyarakat dalam negeri maupun masyarakat internasional. Meskipun demikian, 
bantuan internasional melalui organisasi-organisasi internasional bukanlah yang 
utama, tetapi lebih bersifat bantuan pelengkap. Semua bentuk bantuan, baik yang 
bersumber dari pemerintah, swasta (dalam bentuk  Corporate Social Responsibility, 
hibah dan sebagainya), maupun organisasi-organisasi non-pemerintah (Lembaga 
Sosial Masyarakat) dalam negeri maupun internasional  adalah merupakan stimulus 
pembangunan di daerah pedesaan. Semestinya yang dikedepankan adalah 
kemampuan swadaya masyarakat desa itu sendiri.          
Pembangunan desa pada hakikatnya adalah segala bentuk aktivitas manusia 
(masyarakat dan pemerintah) di desa dalam membangun diri, keluarga, masyarakat 
dan lingkungan di wilayah desa baik yang bersifat fisik, ekonomi, sosial, budaya, 
politik, ketertiban, pertahanan dan keamanan, agama dan pemerintahan yang 
dilakukan secara terencana dan membawa dampak positif terhadap kemajuan desa. 
Dengan demikian, pembangunan desa sesungguhnya merupakan upaya-upaya sadar 
dari masyarakat dan pemerintah baik dengan menggunakan sumberdaya yang 
bersumber dari desa, bantuan pemerintah maupun bantuan organisasiorganisasi/lembaga domestik maupun internasional untuk  menciptakan perubahanperubahan ke arah yang lebih baik.


Perubahan-perubahan yang dilakukan manusia pada awalnya didorong oleh 
keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin maju suatu peradaban dan 
semakin kompleksnya kebutuhan hidup manusia akan mendorong umat manusia 
menggunakan kecerdasannya untuk melakukan upaya-upaya tertentu guna 
pemenuhan kebutuhannya. Upaya-upaya tersebut ditujukan untuk mencapai sesuatu 
yang lebih baik dalam pemenuhan kebutuhan.
Berbicara tentang pembangunan desa terdapat dua aspek penting yang 
menjadi objek pembangunan. Secara umum, pembangunan desa meliputi dua aspek 
utama, yaitu : 
(1) Pembangunan desa dalam aspek fisik, yaitu pembangunan yang objek utamanya 
dalam aspek fisik (sarana, prasarana dan manusia) di pedesaan seperti jalan 
desa, bangunan rumah, pemukiman, jembatan, bendungan, irigasi, sarana 
ibadah, pendidikan (hardware berupa sarana dan prasarana pendidikan, dan 
software berupa segala bentuk pengaturan, kurikulum dan metode pembelajaran), 
keolahragaan, dan sebagainya. Pembangunan dalam aspek fisik ini selanjutnya 
disebut Pembangunan Desa. 
(2) Pembangunan dalam aspek pemberdayaan insani, yaitu pembangunan yang objek 
utamanya aspek pengembangan dan peningkatan kemampuan, skill dan 
memberdayakan masyarakat di daerah pedesaan sebagai warga negara, seperti 
pendidikan dan pelatihan, pembinaan usaha ekonomi, kesehatan, spiritual, dan 
sebagainya. Tujuan utamanya adalah untuk membantu masyarakat yang masih 
tergolong marjinal agar dapat  melepaskan diri dari berbagai belenggu 
keterbelakangan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Pembangunan dalam 
aspek pemberdayaan insani ini selanjutnya disebut sebagai Pemberdayaan 
Masyarakat Desa.  
Pembangunan Desa  
Keterbelakangan pembangunan di daerah pedesaan turut berkontribusi 
terhadap terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota. Daerah perkotaan, terutama 
kota-kota besar di Indonesia mulai kewalahan menghadapi arus migrasi penduduk 
dari daerah pedesaan. Pemerintah pada berbagai kota besar setiap tahunnya 
dipusingkan oleh permasalahan yang muncul sebagai dampak dari tingginya arus 
masyarakat desa yang pindah ke kota. Memang perpindahan penduduk dari desa ke 
kota menimbulkan berbagai dampak di daerah perkotaan. Kedatangan penduduk 
desa di daerah perkotaan secara permanen selain membawa dampak positif juga 
menimbulkan dampak negatif. Permasalahan yang perlu mendapat perhatian adalah 
timbulnya dampak negatif akibat migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke daerah 
perkotaan. Dampak negatif yang ditimbulkan akan menambah permasalahan di 
daerah perkotaan, antara lain terjadi peledakan jumlah penduduk, munculnya 
berbagai masalah sosial seperti peningkatan pengangguran, peningkatan masyarakat 
miskin, gelandangan, tingginya kejadian kriminal dan sebagainya.        
Banyak pakar telah membicarakan tentang kecenderungan urbanisasi di 
Indonesia, diantaranya Parulian Sidabutar pada tahun 1993 mengemukakan bahwa 
meskipun derajat urbanisasi (persentase jumlah penduduk yang tinggal di daerah


perkotaan) di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan standard dunia yang secara umum tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan tinggi. Pada tahun 1985 jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan berjumlah 40,2 juta orang atau 27 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Sekitar 73 persen penduduk masih bertempat tinggal di pedesaan. Pada tahun 2000 jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan meningkat menjadi 76 juta orang atau sekitar 36 persen dari seluruh penduduk. Ada kecenderungan jumlah penduduk yang berdomisili di daerah perkotaan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Data penduduk Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan proporsi yang bertempat tinggal di pedesaan dibandingkan dengan yang bertempat tinggal di perkotaan tidak lagi berbeda jauh yakni 113,7 juta jiwa di pedesaan, dan 106,2 juta jiwa di perkotaan. Namun perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat dan pembangunan Sumber Daya Manusia di daerah pedesaan relatif jauh tertinggal dibanding dengan daerah perkotaan. Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan resmi dari pemerintah pada bulan Agustus 2006 bahwa angka kemiskinan telah mencapai 39,1 juta jiwa atau 17,8 persen dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2005).
Beberapa komponen penyumbang tingginya pertumbuhan penduduk di perkotaan adalah tingkat kelahiran yang relatif tinggi, dan tingkat perpindahan penduduk dari pedesaan ke perkotaan yang relatif tinggi. Fokus perhatian di sini adalah masih tingginya tingkat perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaaan. Perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan tidak terjadi begitu saja, akan tetapi didorong oleh berbagai faktor baik yang bersumber dari perkotaan maupun yang bersumber dari pedesaan. Secara umum, faktor-faktor yang menyebabkan atau mendorong perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu : (1). Faktor yang bersumber dari daerah perkotaan, dan (2). Faktor yang bersumber dari daerah pedesaan.
Faktor-faktor yang bersumber dari daerah perkotaan sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan pembangunan di daerah perkotaan yang sangat dahsyat. Faktor yang bersumber dari daerah perkotaan disebut sebagai faktor penarik, dimana pindahnya penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan disebabkan oleh adanya daya tarik daerah perkotaan yang mempesona. Daya tarik kuat daerah perkotaan, antara lain :
a. Kota sebagai pusat pemerintahan
Sebagai pusat pemerintahan, kota memiliki lembaga-lembaga pemerintahan yang menjadi bagian utama dari kota sebagai pusat pemerintahan. Mereka yang bekerja di sektor pemerintahan tidak semuanya merupakan warga asli perkotaan, sebagian besar dari karyawan sektor pemerintahan adalah berasal dari penduduk pedesaan. Biasanya posisi kota sebagai pusat pemerintahan akan diikuti dengan munculnya berbagai lembaga lain di luar pemerintahan seperti organisasi, lembaga atau badan-badan non pemerintah (LSM), yayasan-yayasan, badan-badan swasta yang bergerak di berbagai bidang.
Organisasi, lembaga atau badan-badan tersebut memiliki anggota, pengurus dan pegawai yang tidak hanya berasal dari penduduk asli perkotaan, tetapi juga


penduduk yang berasal dari pedesaan. Selain itu, kota sebagai pusat pemerintahan dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasana pendukung yang diikuti pula tumbuhnya sektor lain seperti sektor informal, misalnya warung makanan dan minuman, warung rokok, fotocopy, dan sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung menarik orang untuk mengambil peran dan memanfaatkan peluang yang ada. Dengan demikian, kota sebagai pusat pemerintahan menjadi salah satu daya tarik penduduk daerah pedesaan untuk pindah ke daerah perkotaan.
b. Kota sebagai pusat perekonomian
Pertumbuhan kota sebagai pusat perekonomian terkait erat dengan berkembangnya berbagai aktivitas ekonomi di wilayah perkotaan.
 Pusat Perdagangan
Sebagian terbesar penduduk yang bertempat tinggal di daerah perkotaan bermatapencaharian bukan sebagai petani. Untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari mereka membeli dari para pedagang. Kondisi ini mendorong tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat perbelanjaan, pasar, toko, warung dan bahkan pedagang keliling. Mereka yang bekerja atau berprofesi di sektor perdagangan ini bukan hanya penduduk asli daerah perkotaan, sebagian dari mereka adalah penduduk yang berasal dari daerah pedesaan. Penduduk daerah pedesaan tertarik untuk pindah ke daerah perkotaan untuk mencari pekerjaan atau bekerja di sektor jasa perdagangan atau mengadu peruntungan dengan berprofesi sebagai pedagang.
 Pusat Industri
Kebutuhan hidup manusia baik yang berdomisili di daerah perkotaan maupun yang berdomisili di daerah pedesaan tidak hanya terbatas pada makan dan minum, tetapi seiring perkembangan peradaban manusia kebutuhan hidup semakin berkembang dan beragam. Pada masa lalu, orang sudah sangat senang jika telah tercukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan. Kebutuhan pangan, sandang dan papan-pun tidak berlebihan, dengan terpenuhi kebutuhan minimal atau sedikit di atas kebutuhan minimal orang sudah merasa puas.
Kondisi tersebut kini sudah jauh berbeda, dimana tuntutan dan kebutuhan hidup sudah sangat beragam dan tidak lagi hanya berorientasi pada pemenuhan pangan, sandang dan papan yang sederhana saja. Pada masa lalu tidak ada televisi, handphone, sepeda motor, mobil, gedung mewah, sepatu ber-merk, pakaian yang penuh sensasi fashion, makanan siap saji, minuman kemasan, makanan instant yang dapat dibawa jauh dan disimpan lama, berbagai barang aksesoris (jam tangan, kalung, gelang, anting, cincin), dan sebagainya. Kini barang-barang tersebut sudah menjadi kebutuhan, tuntutan dan bahkan menjadi simbol modernisasi dalam kehidupan dan pergaulan masyarakat daerah perkotaan. Cara dan gaya hidup yang demikian telah pula masuk dan melanda kehidupan dan pergaulan masyarakat di daerah pedesaan.


Barang-barang yang dikategorikan sebagai simbol modernisasi tersebut diproduksi oleh pabrik-pabrik atau industri manufaktur yang umumnya berada di daerah perkotaan. Mereka yang bekerja di sektor ini bukan saja orang-orang yang asli berdomilisi di daerah perkotaan, melainkan juga orang-orang yang berasal dari daerah pedesaan. Dengan demikian, kota sebagai pusat industri telah menjadi daya tarik kuat penduduk dari daerah pedesaan untuk pindah ke daerah perkotaan dalam mengadu peruntungan untuk bekerja di sektor perindustrian.
 Pusat Industri Jasa dan Hiburan
Seiring dengan semakin besarnya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, maka tumbuh dan berkembang pula berbagai industri yang berupaya memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat tersebut, diantaranya industri jasa dan hiburan. Industri jasa tumbuh pesat di kawasan perkotaan untuk membantu dalam pemenuhan keinginan-keinginan dan kebutuhan masyarakat daerah perkotaan seperti pelayanan angkutan (darat, laut dan udara), jasa penitipan dan pengiriman barang, jasa konsultasi, perbankan dan sebagainya.
Selain itu, pola hidup masyarakat perkotaan yang seolah berpacu dengan waktu (time is money) menuntut masyarakat kota untuk bekerja lebih giat dengan tuntutah jam kerja yang tinggi. Mereka yang tidak mampu memanfaat waktu dan peluang yang tersedia akan terlindas oleh waktu dan persaingan. Itu artinya tuntutan kerja keras menjadi hal utama. Sehingga di daerah perkotaan muncul fenomena pada jam-jam tertentu terjadi kepadatan arus lalu lintas (saat berangkat ke lokasi kerja pada pagi hari, dan saat pulang kerja pada sore dan menjelang malam hari). Kondisi ini berlangsung secara terus-menerus dari hari ke hari sepanjang tahun. Kesibukan warga kota yang begitu tinggi, memunculkan tuntutan dan kebutuhan akan hiburan (refreshing). Kebutuhan akan hiburan ini membuka peluang dan lapangan pekerjaan baru dalam bentuk industri hiburan seperti bar, tempat karaoke, tempat wisata, kafetaria, pertunjukan film, televisi yang menawarkan beragam acara hiburan, panti pijat, dan sebagainya.
Mereka yang bekerja di sektor industri jasa dan hiburan ini bukan hanya berasal dari masyarakat yang asli berdomisili di daerah perkotaan, tetapi juga berasal dari daerah pedesaan. Dengan demikian, kota sebagai pusat industri jasa dan hiburan turut pula menjadi salah satu faktor yang menarik penduduk dari daerah pedesaan pindah ke daerah perkotaan.
c. Kota sebagai pusat perkembangan peradaban
Perkembangan peradaban manusia tidak terlepas dari perkembangan dan kemampuan olah pikir yang dimiliki manusia. Sentral dari aktivitas ini adalah kemajuan intektualitas manusia yang terus mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri bersumber dari berkembangnya dunia pendidikan yang berkualitas. Terkait dengan pendidikan yang berkualitas, tidak diragukan lagi bahwa pendidikan yang berkualitas erat kaitannya dengan proses pembelajaran yang berkualitas, dukungan fasilitas yang memadai, sumber daya


manusia fasilitator pembelajaran yang berkualitas dan lingkungan yang egaliter. Semuanya secara meyakinkan tersedia di daerah perkotaan.
Kondisi tersebut mendorong pertumbuhan lembaga pendidikan di daerah perkotaan menjadi jauh lebih cepat dan lebih maju daripada daerah pedesaan. Sehingga generasi muda di daerah pedesaan berlomba-lomba meninggalkan desanya menuju kota untuk memperoleh tempat menimba ilmu (sekolah atau perguruan tinggi) yang ternama atau terkenal. Kondisi ini memicu terjadinya perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan dalam jumlah yang cukup besar. Lebih jauh lagi, kelompok muda yang bermigrasi dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan ini hanya sebagian kecil yang kembali lagi ke desa untuk hidup dan menetap di desa. Sebagian besar lainnya memilih mencari kerja atau penghidupan di daerah perkotaan dan menetap di daerah perkotaan. Dengan demikian, kota sebagai pusat perkembangan peradaban turut pula menjadi salah satu faktor yang menarik penduduk dari daerah pedesaan pindah ke daerah perkotaan.
Perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan selain disebabkan daya tarik magnet kota sebagaimana diuraikan di atas, terdapat pula faktor lain. Faktor lain yang dimaksud adalah faktor pendorong. Faktor yang menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan yang bersumber dari kondisi internal daerah pedesaan itu sendiri. Faktor-faktor yang bersumber dari internal daerah pedesaan inilah yang disebut sebagai faktor pendorong. Pindahnya penduduk daerah pedesaan ke daerah perkotaan didorong oleh kondisi ketertinggalan daerah pedesaan dalam berbagai aspek kehidupan. Berbagai faktor internal daerah pedesaan yang mendorong penduduk dari daerah pedesaan untuk berhijrah atau pindah ke daerah perkotaan, antara lain :
a. Keterbelakangan perekonomian di pedesaan
Jika di daerah perkotaan geliat perekonomian begitu fenomenal dan pantastis. Sebaliknya, hal yang berbeda terjadi di daerah pedesaan, dimana geliat perekonomian berjalan lamban dan hampir tidak menggairahkan. Roda perekonomian di daerah pedesaan didominasi oleh aktivitas produksi. Aktivitas produksi yang relatif kurang beragam dan cenderung monoton pada sektor pertanian (dalam arti luas : perkebunan, perikanan, petanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, kehutanan, dan produk turunannya). Kalaupun ada aktivitas di luar sektor pertanian jumlah dan ragamnya masih relatif sangat terbatas.
Aktivitas perekonomian yang ditekuni masyarakat di daerah pedesaan tersebut sangat rentan terhadap terjadinya instabilitas harga. Pada waktu dan musim tertentu produk (terutama produk pertanian) yang berasal dari daerah pedesaan dapat mencapai harga yang begitu tinggi dan pantastik. Namun pada waktu dan musim yang lain, harga produk pertanian yang berasal dari daerah pedesaan dapat anjlok ke level harga yang sangat rendah. Begitu rendahnya harga produk pertanian menyebabkan para petani di daerah pedesaan enggan untuk memanen hasil pertaniannya, karena biaya panen lebih besar dibandingkan dengan harga jual produknya. Kondisi seperti ini menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi petani.


Kondisi seperti ini hampir selalu terjadi sampai saat ini. Namun demikian, suatu ironi bagi pemerintah, karena belum dapat memberikan solusi tepat. Masih segar dalam ingatan kita, pada tahun 2010, cabai mencapai harga di atas Rp.100.000,- per kilogram dan merupakan harga tertinggi sepanjang sejarah. Kondisi berbalik terjadi pada bulan-bulan di awal tahun 2011, dimana harga cabai mengalami penurunan secara drastis. Beberapa daerah harga cabai mencapai di bawah Rp. 10.000,- per kilogram. Kasus yang mirip terjadi beberapa tahun sebelumnya, petani tomat mengalami masa-masa pahit. Harga buah tomat sangat rendah, sehingga biaya produksi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual hasil panen tomat. Petani enggan memanen tomatnya dan lebih memilih untuk membiarkan buah tomat membusuk di kebun atau melakukan pemusnahan tanaman tomat dan menggantikan dengan tanaman lain yang berbeda. Kejadian serupa pada produk pertanian lainnya seringkali terjadi dan menerpa kehidupan para petani di daerah pedesaan.
Meskipun penduduk di daerah pedesaan mayoritas bermatapencaharian sebagai petani, namun tidak semua petani di daerah pedesaan memiliki lahan pertanian yang memadai. Banyak diantara mereka memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar, yang disebut dengan istilah petani gurem. Lebih ironis lagi, sebagian dari penduduk di daerah pedesaan yang malah tidak memiliki lahan pertanian garapan sendiri. Mereka berstatus sebagai petani penyewa, penggarap atau sebagai buruh tani. Petani penyewa adalah para petani yang tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan menyewa lahan pertanian milik orang lain. Petani penggarap adalah para petani yang tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan menggarap lahan pertanian milik orang lain dengan sistem bagi hasil atau lainnya. Buruh tani adalah petani yang tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan bekerja sebagai buruh yang menggarap lahan pertanian milik orang lain dengan memperoleh upah atas pekerjaannya.
Kondisi tersebut berpengaruh terhadap hidup dan penghidupan keluarga petani di daerah pedesaan. Perekonomian masyarakat di daerah pedesaan yang kurang menguntungkan ini mendorong penduduk daerah pedesaan untuk pindah dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan. Keluarga petani terdorong untuk mencari sumber penghidupan yang lain di luar desanya. Daerah yang banyak menjadi tujuan mereka adalah daerah perkotaan. Mereka nekad keluar dari desanya untuk mencari pekerjaan dan mengadu nasib di daerah perkotaan. Meskipun di daerah perkotaan mereka belum tentu memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
b. Minimnya sarana dan prasarana di pedesaan
Salah satu keterbelakangan yang dialami daerah pedesaan di Indonesia dapat dilihat dari aspek pembangunan sarana dan prasarana. Beberapa sarana dan prasarana pokok dan penting di daerah pedesaan, antara lain :
 Prasarana dan sarana transportasi
Salah satu prasarana dan sarana pokok dan penting untuk membuka isolasi daerah pedesaan dengan daerah lainnya adalah prasarana transportasi (seperti jalan raya, jembatan, prasarana transportasi laut, danau, sungai dan udara), dan sarana transportasi (seperti mobil, sepeda motor, kapal laut, perahu


mesin, pesawat udara dan sebagainya). Ketersediaan parasarana dan sarana transportasi yang memadai akan mendukung arus orang dan barang yang keluar dan masuk ke daerah pedesaan. Untuk mendorong peningkatan dinamika masyarakat daerah pedesaan akan arus transportasi orang dan barang keluar dan masuk dari dan ke daerah pedesaan, diperlukan prasarana dan sarana transportasi yang memadai.
Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Syaifulah Yusuf, dalam seminar tentang “Strategi Pembangunan Desa” di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa 12 September 2006, mengemukakan bahwa sekitar 45 persen atau sebanyak 32.379 Desa di Indonesia termasuk dalam kategori Desa Tertinggal (Ken Yunita, 2006).
Salah satu penyebab daerah pedesaan masih terisolasi atau tertinggal adalah masih minimnya prasarana dan sarana transportasi yang membuka akses daerah pedesaan dengan daerah lainnya. Kondisi prasarana dan sarana transportasi yang minim berkontribusi terhadap keterbelakangan ekonomi daerah pedesaan. Secara umum, masyarakat daerah pedesaan menghasilkan jenis produk yang relatif sama, sehingga transaksi jual beli barang atau produk antar sesama penduduk di suatu desa relatif kecil. Dalam kondisi prasarana dan sarana transportasi yang minim, produk yang dihasilkan masyarakat daerah pedesaan sulit untuk diangkut dan dipasarkan ke daerah lain. Jika dalam kondisi seperti itu, masyarakat daerah pedesaan menghasilkan produk pertanian dan non pertanian dalam skala besar, maka produk tersebut tidak dapat diangkut dan dipasarkan ke luar desa dan akan menumpuk di desa. Penumpukan dalam waktu yang lama akan menimbulkan kerusakan dan kerugian. Kondisi seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi warga masyarakat di daerah pedesaan. Sebaliknya, hal tersebut akan mendorong sebagian warga masyarakat di daerah pedesaan untuk merantau atau berpindah ke daerah lain terutama daerah perkotaan yang dianggap lebih menawarkan masa depan yang lebih baik.
 Prasarana dan sarana pendidikan yang kurang memadai
Sebagian dari masyarakat di daerah pedesaan telah memiliki kesadaran untuk mendidik anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan dan gedung sekolah di daerah pedesaan relatif terbatas. Ketersediaan prasarana pendidikan di daerah pedesaan yang masih kurang memadai dapat terlihat dari terbatasnya jumlah lembaga pendidikan serta kondisi fisik bangunan sekolah yang kurang representatif (rusak, tidak terawat dengan baik, kekurangan jumlah ruang kelas dan sebagainya). Selain itu, sarana pendidikan di daerah pedesaan juga sangat terbatas seperti kurangnya ketersediaan buku-buku ajar, kondisi kursi dan meja belajar yang seadanya, tidak tersedianya sarana belajar elektronik, tidak tersedianya alat peraga dan sebagainya. Keterbatasan prasarana dan sarana pendidikan di daerah pedesaan mendorong sebagian masyarakat daerah pedesaan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke luar desa terutama ke daerah perkotaan. Hal ini turut mendorong laju migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan.


c. Terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan
Indonesia sebagai negara agraris sampai saat ini dapat dilihat dari besarnya jumlah penduduk yang masih mengandalkan penghasilannya serta menggantungkan harapan hidupnya pada sektor pertanian. Dominasi sektor pertanian sebagai matapencaharian penduduk dapat terlihat nyata di daerah pedesaan. Sampai saat ini lapangan kerja yang tersedia di daerah pedesaan masih didominasi oleh sektor usaha bidang pertanian. Kegiatan usaha ekonomi produktif di daerah pedesaan masih sangat terbatas ragam dan jumlahnya, yang cenderung terpaku pada bidang pertanian (agribisnis). Aktivitas usaha dan matapencaharian utama masyarakat di daerah pedesaan adalah usaha pengelolaan/ pemanfaatan sumber daya alam yang secara langsung atau tidak langsung ada kaitannya dengan pertanian. Bukan berarti bahwa lapangan kerja di luar sektor pertanian tidak ada, akan tetapi masih sangat terbatas. Peluang usaha di sektor non-pertanian belum mendapat sentuhan yang memadai dan belum berkembang dengan baik. Kondisi ini mendorong sebagian penduduk di daerah pedesaan untuk mencari usaha lain di luar desanya, sehingga mendorong mereka untuk berhijrah/migrasi dari daerah pedesaan menuju daerah lain terutama daerah perkotaan. Daerah perkotaan dianggap memiliki lebih banyak pilihan dan peluang untuk bekerja dan berusaha.
Upaya untuk mendorong dan melepaskan daerah pedesaan dari berbagai ketertinggalan atau keterbelakangan, maka pembangunan desa dalam aspek fisik perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan komponen masyarakat lainnya. Pembangunan desa dalam aspek fisik, selanjutnya dalam tulisan ini disebut Pembangunan Desa, merupakan upaya pembangunan sarana, prasarana dan manusia di daerah pedesaan yang merupakan kebutuhan masyarakat daerah pedesaan dalam mendukung aktivitas dan kehidupan masyarakat pedesaan.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa betapa daerah pedesaaan memerlukan adanya ketersediaan prasarana dan sarana fisik dalam hidup dan kehidupan masyarakat desa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak untuk mengurus kepentingan daerahnya sendiri (dalam istilah modern disebut “hak otonomi”). Hak otonomi sifatnya sangat luas. Hampir semua hal yang menyangkut urusan di desa. Hanya saja tingkat materi dan cara pelaksanaan atau pengerjaannya masih sangat sederhana, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan desa.
Bercermin dari masa lalu, di era orde baru pemerintahan bersifat sangat sentralistik yang mengusung konsep filosofi keseragaman. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan diseragamkan, diatur dan dikendalikan dari pusat. Sementara bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, lebih dari 70.000 buah desa dengan karakter, budaya dan tradisi yang berbeda satu sama lain. Konsep keseragaman yang diusung dan dipaksakan pada masa lalu, kini sudah tidak tepat lagi. Oleh karenanya, konsep pembangunan desa ke depan tidak dapat dilakukan dengan pola keseragaman.
Seiring dengan perubahan paradigma pemerintahan sentralistik ke paradigma pemerintahan desentralistik, maka seyogyanya pembangunan desa lebih


mengedepankan konsep keanekaragaman dalam kesatuan dan bukan konsep keseragaman. Pembangunan desa dengan konsep keanekaragam dalam kesatuan, diharapkan mampu mendorong dinamika pembangunan desa yang berbasis budaya dan karakteristik lokal yang pada akhirnya akan memperkaya keragaman nuansa etnik dalam pembangunan bangsa. Masyarakat dan pemerintah desa diberi kekeluasaan untuk memperkaya warna dan model pembangunan desanya dengan kekayaan etnik yang mereka miliki. Upaya tersebut diharpakan akan menumbuhkan dan memupuk partisipasi aktif dan rasa tanggung jawab masyarakat dalam membangun desa.
Peran pemerintah (pusat dan daerah) dalam pembangunan desa ditempatkan pada posisi yang tepat. Pemerintah diharapkan berperan dalam memberi motivasi, stimulus, fasilitasi, pembinaan, pengawasan dan hal-hal yang bersifat bantuan terhadap pembanguan desa. Untuk kepentingan dan tujuan tertentu, intervensi pemerintah terhadap pembangunan desa dapat saja dilakukan setelah melalui kajian dan pertimbangan yang matang dan komprehensif. Intervensi yang dimaksudkan di sini adalah turut campur secara aktif dan bertanggungjawab pemerintah dalam proses pembangunan desa, seperti membuka keterisolasian desa (karena ketiadaan biaya, desa tidak mampu melepaskan diri dari keterisolasian), membangun fasilitas jalan, jembatan, gedung sekolah, puskesmas dan sebagainya. Meskipun pemerintah melakukan intervensi terhadap proses pembangunan fasilitas tertentu di daerah pedesaan, pemerintah tidak boleh mengabaikan potensi setempat, jangan sampai pemerintah mengabaikan keberadaan masyarakat setempat, dan masyarakat jangan sampai hanya diposisikan sebagai penonton. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam pembangunan desa. Karena proses pembangunan desa bukan hanya sebatas membangun prasarana dan sarana yang diperlukan, tetapi proses pembangunan desa memerlukan waktu yang panjang, banyak pengorbanan, dan bertalian dengan banyak pihak dalam masyarakat termasuk masyarakat di daerah pedesaan. Proses pembangunan desa dimulai dari tahap pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan. Seyogyanya pada semua tahapan pembangunan desa ini terjadi keterlibatan partisipasi aktif masyarakat daerah pedesaan.
Bertolak dari konsep dan praktik pembangunan desa pada masa lalu yang bersifat sentralistik. Potensi masyarakat lokal seringkali dikesampingkan oleh pelaksana di lapangan. Hal ini yang menyebabkan hasil pembangunan yang telah dilakukan tidak memberikan dampak dan manfaat yang luas bagi masyarakat. Seringkali terjadi kerusakan bahkan hancur sebelum usia pakainya habis. Karena tidak muncul kepedulian dan rasa tanggung jawab pada masyarakat dalam memelihara atau menjaga prasarana dan sarana yang telah dibangun oleh pemerintah. Meskipun sesungguhnya prasarana dan sarana yang dibangun oleh pemerintah ditujukan untuk kepentingan masyarakat di daerah pedesaan itu sendiri.
Sebaliknya, jika suatu proyek pembangunan prasarana dan sarana yang muncul dari masyarakat daerah pedesaan, direncanakan, dan dilaksanakan secara bersama oleh masyarakat daerah pedesaan, maka kepedulian dan rasa memiliki dari masyarakat sangat tinggi. Masyarakat secara sadar dan tanpa pamrih turut berpartisipasi aktif untuk mensukseskan pembangunan tersebut. Hal ini berdampak pula pada munculnya rasa tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga keberlangsungan pembangunan dan hasil pembangunannya.


Oleh karena itu, perlu diingat bahwa pembangunan desa dalam aspek pembangunan fisik, pembangunan prasarana dan sarana di daerah pedesaan semestinya menempatkan penduduk atau masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. Sebagai subjek pembangunan menunjukkan bahwa masyarakat daerah pedesaan berperan sebagai pelaku pembangunan. Sudah semestinya masyarakat sebagai pelaku pembangunan mengambil posisi untuk berperan secara aktif dalam proses pembangunan. Peran aktif masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk keterlibatan atau pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan, apakah pada tahap pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan atau pada semua tahap proses pembangunan tersebut. Di masa mendatang pola pembangunan yang mengedepankan peran masyarakat lebih didorong untuk menjadi ujung tombak dalam pembangunan desa. Pola bottom-up planning mungkin menjadi salah satu alternatif yang mengedepan. Pemerintah menempatkan diri sebagai motivator dan fasilitator aktif (tentunya tidak berpangku tangan hanya menunggu dari masyarakat). Pemerintah memotivasi masyarakat untuk membangun daerahnya seraya pemerintah menyiapkan bantuan prasarana, sarana dan dana yang dibutuhkan. Pemerintah juga dapat melemparkan ide-ide pembangunan desa kepada masyarakat. Namun dalam tahap berikutnya masyarakat dilibatkan dalam menentukan keputusan mengenai apa yang akan dibangun, membuat dan menyusun rencana pembangunan, dalam pelaksanaan pembangunan sampai pada pemeliharaan hasil pembangunan.
Berkaitan dengan manusia (penduduk daerah pedesaan) sebagai subjek pembangunan, maka dituntut berbagai hal terhadap kapasitas dan kualitas manusia itu sendiri. Salah satu tuntutan peran sebagai subjek (pelaku) pembangunan yang semestinya dapat dan mampu dipenuhi oleh masyarakat di daerah pedesaan adalah kemampuan menciptakan atau daya cipta. Soedjatmoko (1995) mengemukakan bahwa pengembangan (pemekaran) daya cipta suatu bangsa bukan saja suatu kemampuan serta kejadian individual, melainkan juga suatu proses sosial yang ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial pula. Maksudnya adalah adanya lembaga dan kebijaksanaan yang diperlukan untuk mencapai perkembangan daya cipta dalam pembangunan masyarakat.
Bahwasanya untuk lebih menggerakkan dan memacu pembangunan desa secara lebih berdaya guna dan berhasil guna, maka yang pertama dan utama perlu dibangun adalah manusia sebagai pelaku dan calon pelaku pembangunan itu sendiri. Kritik bagi model pembangunan kita selama ini adalah bangsa kita lebih cenderung mengedepankan pembangunan fisik daripada pembangunan manusianya.
Soedjatmoko (1995) mengemukakan bahwa pada pembangunan ekonomi ada kecenderungan mengaggap esensi pertumbuhan ekonomi ialah besarnya penanaman modal untuk keperluan produksi. Ini dianggap faktor paling menentukan untuk mencapai suatu tingkat ekonomi yang lebih tinggi. Peneropongan teoritis, lebih berkisar pada soal penentuan besar kecilnya penanaman modal yang diperlukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih pesat. Penanaman modal dipandang lebih menentukan daripada cacah jiwanya., sehingga kurang mendapat perhatian dan berjalan sendiri. Kalaupun faktor seperti pendidikan, stabilitas politik dan faktor sosial lainnya turut ditinjau, peninjauan itupun tetap berporos pada investasi modal.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka ke depan kita perlu menata ulang format pembangunan desa. Bangsa ini harus memilah, memilih dan menata secara lebih arif.


Tidak mungkin lagi membuat kebijakan pembangunan yang seragam untuk semua desa. Akan tetapi, kita perlu secara arif dan bijaksana melihat desa per desa dari berbagai aspek. Bagi desa yang sudah memiliki manusia (penduduk) yang berkualitas, maka perlu didorong dan distimulir untuk memacu percepatan pembangunan desa dalam semua aspek. Sebaliknya, jika suatu desa yang belum memiliki kualitas dan kuantitas manusia yang mumpuni, maka perlu didorong untuk lebih mengedepankan pembangunan manusianya, seperti pendidikan, pembimbingan, pelatihan dan sebagainya. Pembangunan manusia dalam konteks pengembangan daya cipta. Daya cipta dalam perspektif yang luas, termasuk melakukan pembaharuan dan penemuan atas berbagai hal terkait kehidupan manusia seperti menambah dan mengembangkan berbagai macam alat (instrument) dan cara (metode/teknik) yang berguna dalam menunjang atau mendukung kehidupan masyarakat di daerah pedesaan atau masyarakat luas.
Tulisan ini cuplikan dari isi BUKU
Penulis :
Dr. Ir. Ali Hanapiah Muhi, MP
Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor, Jawa Barat, 2011.











Comments

Popular posts from this blog

DELISHA DARWIS COT KUTHANG

khanduri

KARYA TULIS ILMIAH | MANAJEMEN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT “STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR RAWAT INAP RSUD TGK ABDULLAH SYAFI’I BEUREUNUEN”